|
Kearifan
lokal dalam bahasa asing sering di konsepsikan sebagai kebijakan setempat
(local wisdom), pengetahuan setempat (local knowledge) atau kecerdasan setempat
(local genious). Kearifan lokal dapat diterjemahkan sebagai karya akal budi,
perasaan mendalam, tabiat, bentuk perangai, dan anjuran untuk kemuliaan manusia.
Kearifan
lokal adalah bagian dari budaya. Berbagai hal tentang hidup manusia, akan
memancarkan ratusan dan bahkan ribuan kearifan lokal. Selain itu, kearifan
lokal merupakan fenomena yang luas dan komprehensif. Cakupan kearifan lokal
cukup banyak dan beragam sehingga sulit dibatasi oleh ruang. Oleh karena itu,
kearifan lokal tidak selalu bersifat tradisional karena dia dapat mencakup
kearifan masa kini dank arena itu pula lebih luas maknanya daripada kearifan
tradisional.
Di
Indonesia, kearifan lokal jelas mempunyai makna positif karena kearifan selalu
dimaknai secara baik atau positif. Pemilihan kata kearifan lokal disadari atau
tidak merupakan sebuah strategi untuk membangun, menciptakan citra yang lebih
baik mengenai pengetahuan lokal yang memang tidak selalu orang lantas bersedia
menghargai pengetahuan tradisional, pengetahuan lokal warisan nenek moyang dan
kemudian bersedia bersusah payah memahaminya untuk bisa memperoleh berbagai
kearifan yang ada dalam suatu komunitas.
Masing-masing
daerah di Indonesia memiliki kearifan lokalnya yang berbeda. Mulai dari Sabang
sampai Merauke dipenuhi dengan berbagai budaya-budaya yang dilakukan dan
menjadi kebiasaan bagi masyarakat yang berdomisili ditiap-tiap daerah. Salah
satu contohnya adalah Desa Abubu, kabupaten Maluku Tengah, kecamatan Nusalaut.
Desa Abubu
terletak di pulau Nusalaut. Pulau Nusalaut adalah sebuah pulau kecil diantara 6
gugusan pulau-pulau wilayah Maluku. Pulau Nusalaut termasuk dalam bagian dari
Kepulauan Lease merupakan pulau berpenduduk sekaligus sebuah kecamatan yang
secara administrative berada di Kecamatan Nusalaut, Kabupaten Maluku Tengah,
Provinsi Maluku yang terdiri dari 7 (tujuh) desa/negeri, yaitu : Titawaai,
Abubu, Akoon, Amet, Nalahia, Sila, dan Leinitu dengan ibu kota Kecamatan
terletak di Desa Amet. Memiliki jumlah penduduk 5469 jiwa dengan rincian
Laki-laki 2.790 jiwa dan Perempuan 2.679 jiwa. Secara geografis Pulau Nusalaut
memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut:
·
Sebelah Utara : Berbatasan dengan Pulau Saparua
·
Sebelah Selatan
: Berbatasan dengan Laut Banda
·
Sebelah Timur : berbatasan dengan Laut Seram dan
Pulau Serua
·
Sebelah Barat : berbatasan dengan Pulau Molana
Luas keseluruhan Pulau Nusalaut adalah 32,50 Km2
dengan Desa terluas adalah Titawaai sedangkan Desa terkecil adalah Desa Sila.
Salah satu Desa/Negeri yang akan dibahas adalah Desa Abubu.
Desa Abubu
terletak antara Desa Titawaai dan Akoon. Desa Abubu dikepalai oleh seorang
raja, pada masa periode ini raja yang memerintah bernama Ir. Arthur Manusama. Mata pencaharian penduduk Desa Abubu terutama
Laki-laki usia kerja sebagian besar memiliki mata pencaharian ganda, yakni
nelayan sekaligus petani. Hal ini disebabkan karena kondisi alam yang berlaku.
Jika pada musim penghujan dengan kondisi laut yang tidak bersahabat maka hampir
sebagian besar masyarakat melakukan kegiatan pertanian. Sedangkan pada musim
kemarau dengan kondisi laut yang cenderung bersahabat maka seluruhnya akan
kembali melaut untuk mencari ikan.
Ada
berbagai cara yang digunakan masyarakat Desa Abubu dalam memperoleh ikan,
antara lain : amisal, moel, bubu, tohar, tutu redi, bobo, sosoki, panen suruwai
dst.
Salah satu
kearifan lokal yang akan dibahas yaitu tutu redi.
Tutu redi
merupakan cara menangkap ikan yang masih tetap dipertahankan hingga sekarang.
Masyarakat desa Abubu sering sekali melakukan cara ini ketika musim timur.
Kegiatan ini membutuhkan tenaga yang banyak untuk mengangkat jaring yang
kira-kira memiliki kepanjangan 500 m sehingga dilakukan secara berkelompok yang
terdiri dari 5-10 orang. Jaring besar ini biasanya diperoleh dengan cara pinjam
meminjam pada masyarakat desa.
Setelah
mendapatkan jaring yang cukup besar orang-orang yang melakukan tutu redi akan
mencari ikan-ikan kecil atau kumang yang akan dijadikan umpan, namun sebelum
itu umpan tersebut harus dihancur-hancurkan terlebih dahulu dengan cara
ditumbuk bersamaan dengan pasir pantai. Kemudian kumang dan ikan-ikan kecil
ditebarkan/dihamburkan disepanjang pantai (tinggi air sampai dada) tempat tutu
redi pada saat air sedang pasang. Kumang dan ikan yang ditebarkan otomatis akan
mengeluarkan bau yang khas yang menarik perhatian ikan-ikan yang masih hidup
untuk datang mencari makanan. Satu jam kemudian beberapa orang membawa jaring
besar tersebut ke daerah tutu redi dan menenggelamkan jaring itu sampai
ikan-ikan hidup datang dan terkurung didalamnya.
Tutu redi
biasa dilakukan pada malam hari saat air laut pasang, dengan indikasi air akan
surut di pagi hari sehingga memudahkan mengambil ikan yang telah terkurung
dalam jaring.
Ketika pagi
hari saat air telah surut hingga setinggi betis orang dewasa, kegiatan
pengambilan ikan pun dilakukan. Biasanya beberapa ikan besar telah tersangkut
pada jaring tersebut namun ada juga yang tidak tersangkut dan masih berkeliaran
di tengah jaring. Untuk menangkap ikan yang tidak tersangkut tersebut digunakan
jala.
Setelah
seluruh ikan hasil tangkapan telah terkumpul, dilakukanlah pembagian hasil
secara merata. Biasanya ikan yang didapat bisa mencapai 5 karung. Apabila ada
ikan kecil yang juga ikut terangkat kedalam karung, maka dapat dibagikan bagi
masyarakat desa untuk dikonsumsi.
Tutu redi
adalah kearifan lokal yang masih dilakukan hingga sekarang. Tetapi ada juga
kearifan lokal yang sudah tidak dilakukan sekarang, yaitu sosoki.
Sosoki merupakan alat tangkap yang digunakan
masyarakat Desa Abubu pada zaman dahulu, dimana pada saat itu masyarakat belum
memiliki perekonomian yang cukup untuk membeli jaring maupun peralatan
menangkap ikan. Selain itu masyarakat dulu yang masih sangat kental dengan hal-hal
magis mempercayai bahwa ketika melakukan adat maka sosoki tersebut akan menghasilkan
ikan yang banyak. Dibutuhkan seseorang sebagai penanggung jawab (mengakui
sosoki sebagai milikinya) ketika melakukan adat, sehingga tidak boleh terjadi
kesalahan ketika melakukannya.
Pembuatan
sosoki sendiri dimulai dengan pengambilan daun mayang (daun aren) dan luleba
(gaba-gaba yang masih muda) oleh masyarakat setempat. Masing-masing orang diharuskan
mengambil 5 dahan daun mayang dan gaba-gaba muda sebanyak mungkin. Sosoki yang
dibuat kurang lebih 1 Km, sehingga bahan yang dibutuhkan harus dikumpulkan sebanyak
mungkin. Setelah bahan-bahan telah terkumpul, masyarakat banyak yang terdiri
dari orang dewasa dan anak-anak beramai-ramai mengerjakannya disepanjang jalan desa,
kemudian dilakukan pembagian tugas. Ada yang bertugas untuk mengupas kulit
gaba-gaba muda (luleba) dan ada juga yang bertugas untuk membelah daun mayang
menjadi dua bagian. Setelah itu kulit gaba-gaba yang telah dikupas diputar
sampai halus membentuk seutas tali kecil yang kemudian akan digabungkan hingga
didapati seikat tali yang berukuran besar dan kuat. Selanjutnya daun mayang
yang telah dibagi dua dililitkan/diikat pada gaba-gaba muda yang telah menjadi
tali yang besar sehingga tali tersebut tidak kelihatan rupanya karena telah
ditutupi oleh daun mayang. Sebelum sosoki ditempatkan pada perairan dilakukan
kegiatan adat oleh pemilik sosoki tersebut, menurut masyarakat setempat
adat-adat yang dilakukan akan membuat ikan ketakutan ketika melihat gelapnya
daun mayang. Setelah kegiatan adat dilakukan, masyarakat beramai-ramai membagi
sosoki tersebut menjadi dua bagian, satu bagian di letakkan pada arumbai
pertama dan bagian sosoki yang lain diletakkan pada arumbai kedua.
Masing-masing
arumbai memerlukan 20-30 orang (laki-laki dan perempuan) untuk proses mengangkat
dan meletakan sosoki. Sebelum itu seorang tetua (juru selam) akan menyelam
kedalam laut untuk melihat keberadaan ikan pada suatu daerah. Saat tetua telah
menemukan tempat ikan berkerumun maka masnai yang berada pada arumbai tadi akan
menarik arumbai yang berisi sosoki ke dekat nahano (tempat pecah ombak) yang
langsung bersebelahan dengan laut yang sangat dalam. Penarikan arumbai ini
dilakukan saat air sedang surut.
Arumbai
yang telah sampai di nahano akan berjalan memutari/mengurungi daerah yang
dipenuhi ikan (didapat dari informasi dari tetua), kemudian menurunkan sosoki hingga
kedalam tertentu dan mengikat kedua ujungnya menjadi satu. Setelah itu ada
kira-kira 20 perahu yang berada pada masing-masing tepi sosoki yang bagian sau-nya
(semang) di ikatkan daun mayang, perahu-perahu ini berfungsi sebagai pelampung
agar sosoki tidak tenggelam sampai kedasar. Dalam hal ini ketika sosoki telah
diturunkan masyarakat desa Abubu percaya bahwa ikan-ikan secara otomatis akan
berenang mengikuti sosoki tersebut. Masnait yang berada didekat nahano (pada
air setinggi dada) bersiap-siap untuk menarik sosoki keluar ketika ikan sudah
cukup banyak terkurung, lalu kemudian masnait yang lain menyiapkan jaring besar
untuk mengurung sosoki yang telah dipenuhi dengan ikan besar, sedang, maupun
kecil.
Kemudian
ikan diangkat dan dimasukan pada timbil (keranjang besar yang terbuat dari
rotan/bengkawang/bambu). Timbil ini mampu menampung ikan-kan besar yang
tentunya sangat berat sehingga satu buah timbil diperlukan 4 orang untuk
mengangkatnya. Timbil-timbil tersebut dikumpulkan disepanjang desa dan
ikan-ikan tersebut dibagi secara merata kepada seluruh masyarakat desa. Dan
seluruh masyarakat desa pasti mendapatkan bagian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar