Kamis, 17 September 2015

Kearifan Lokal Desa Abubu, Nusalaut




Kearifan Lokal Desa Abubu, Nusalaut





                Kearifan lokal dalam bahasa asing sering di konsepsikan sebagai kebijakan setempat (local wisdom), pengetahuan setempat (local knowledge) atau kecerdasan setempat (local genious). Kearifan lokal dapat diterjemahkan sebagai karya akal budi, perasaan mendalam, tabiat, bentuk perangai, dan anjuran untuk kemuliaan manusia.
            Kearifan lokal adalah bagian dari budaya. Berbagai hal tentang hidup manusia, akan memancarkan ratusan dan bahkan ribuan kearifan lokal. Selain itu, kearifan lokal merupakan fenomena yang luas dan komprehensif. Cakupan kearifan lokal cukup banyak dan beragam sehingga sulit dibatasi oleh ruang. Oleh karena itu, kearifan lokal tidak selalu bersifat tradisional karena dia dapat mencakup kearifan masa kini dank arena itu pula lebih luas maknanya daripada kearifan tradisional.
            Di Indonesia, kearifan lokal jelas mempunyai makna positif karena kearifan selalu dimaknai secara baik atau positif. Pemilihan kata kearifan lokal disadari atau tidak merupakan sebuah strategi untuk membangun, menciptakan citra yang lebih baik mengenai pengetahuan lokal yang memang tidak selalu orang lantas bersedia menghargai pengetahuan tradisional, pengetahuan lokal warisan nenek moyang dan kemudian bersedia bersusah payah memahaminya untuk bisa memperoleh berbagai kearifan yang ada dalam suatu komunitas.
            Masing-masing daerah di Indonesia memiliki kearifan lokalnya yang berbeda. Mulai dari Sabang sampai Merauke dipenuhi dengan berbagai budaya-budaya yang dilakukan dan menjadi kebiasaan bagi masyarakat yang berdomisili ditiap-tiap daerah. Salah satu contohnya adalah Desa Abubu, kabupaten Maluku Tengah, kecamatan Nusalaut.
            Desa Abubu terletak di pulau Nusalaut. Pulau Nusalaut adalah sebuah pulau kecil diantara 6 gugusan pulau-pulau wilayah Maluku. Pulau Nusalaut termasuk dalam bagian dari Kepulauan Lease merupakan pulau berpenduduk sekaligus sebuah kecamatan yang secara administrative berada di Kecamatan Nusalaut, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku yang terdiri dari 7 (tujuh) desa/negeri, yaitu : Titawaai, Abubu, Akoon, Amet, Nalahia, Sila, dan Leinitu dengan ibu kota Kecamatan terletak di Desa Amet. Memiliki jumlah penduduk 5469 jiwa dengan rincian Laki-laki 2.790 jiwa dan Perempuan 2.679 jiwa. Secara geografis Pulau Nusalaut memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut:
·         Sebelah Utara :           Berbatasan dengan Pulau Saparua
·         Sebelah Selatan :        Berbatasan dengan Laut Banda
·         Sebelah Timur :           berbatasan dengan Laut Seram dan Pulau Serua
·         Sebelah Barat :           berbatasan dengan Pulau Molana
Luas keseluruhan Pulau Nusalaut adalah 32,50 Km2 dengan Desa terluas adalah Titawaai sedangkan Desa terkecil adalah Desa Sila.
Salah satu Desa/Negeri yang akan dibahas adalah Desa Abubu.
            Desa Abubu terletak antara Desa Titawaai dan Akoon. Desa Abubu dikepalai oleh seorang raja, pada masa periode ini raja yang memerintah bernama Ir. Arthur Manusama.  Mata pencaharian penduduk Desa Abubu terutama Laki-laki usia kerja sebagian besar memiliki mata pencaharian ganda, yakni nelayan sekaligus petani. Hal ini disebabkan karena kondisi alam yang berlaku. Jika pada musim penghujan dengan kondisi laut yang tidak bersahabat maka hampir sebagian besar masyarakat melakukan kegiatan pertanian. Sedangkan pada musim kemarau dengan kondisi laut yang cenderung bersahabat maka seluruhnya akan kembali melaut untuk mencari ikan.
            Ada berbagai cara yang digunakan masyarakat Desa Abubu dalam memperoleh ikan, antara lain : amisal, moel, bubu, tohar, tutu redi, bobo, sosoki, panen suruwai dst.
            Salah satu kearifan lokal yang akan dibahas yaitu tutu redi.
            Tutu redi merupakan cara menangkap ikan yang masih tetap dipertahankan hingga sekarang. Masyarakat desa Abubu sering sekali melakukan cara ini ketika musim timur. Kegiatan ini membutuhkan tenaga yang banyak untuk mengangkat jaring yang kira-kira memiliki kepanjangan 500 m sehingga dilakukan secara berkelompok yang terdiri dari 5-10 orang. Jaring besar ini biasanya diperoleh dengan cara pinjam meminjam pada masyarakat desa.
            Setelah mendapatkan jaring yang cukup besar orang-orang yang melakukan tutu redi akan mencari ikan-ikan kecil atau kumang yang akan dijadikan umpan, namun sebelum itu umpan tersebut harus dihancur-hancurkan terlebih dahulu dengan cara ditumbuk bersamaan dengan pasir pantai. Kemudian kumang dan ikan-ikan kecil ditebarkan/dihamburkan disepanjang pantai (tinggi air sampai dada) tempat tutu redi pada saat air sedang pasang. Kumang dan ikan yang ditebarkan otomatis akan mengeluarkan bau yang khas yang menarik perhatian ikan-ikan yang masih hidup untuk datang mencari makanan. Satu jam kemudian beberapa orang membawa jaring besar tersebut ke daerah tutu redi dan menenggelamkan jaring itu sampai ikan-ikan hidup datang dan terkurung didalamnya.
            Tutu redi biasa dilakukan pada malam hari saat air laut pasang, dengan indikasi air akan surut di pagi hari sehingga memudahkan mengambil ikan yang telah terkurung dalam jaring.
            Ketika pagi hari saat air telah surut hingga setinggi betis orang dewasa, kegiatan pengambilan ikan pun dilakukan. Biasanya beberapa ikan besar telah tersangkut pada jaring tersebut namun ada juga yang tidak tersangkut dan masih berkeliaran di tengah jaring. Untuk menangkap ikan yang tidak tersangkut tersebut digunakan jala.
            Setelah seluruh ikan hasil tangkapan telah terkumpul, dilakukanlah pembagian hasil secara merata. Biasanya ikan yang didapat bisa mencapai 5 karung. Apabila ada ikan kecil yang juga ikut terangkat kedalam karung, maka dapat dibagikan bagi masyarakat desa untuk dikonsumsi.
            Tutu redi adalah kearifan lokal yang masih dilakukan hingga sekarang. Tetapi ada juga kearifan lokal yang sudah tidak dilakukan sekarang, yaitu sosoki.
             Sosoki merupakan alat tangkap yang digunakan masyarakat Desa Abubu pada zaman dahulu, dimana pada saat itu masyarakat belum memiliki perekonomian yang cukup untuk membeli jaring maupun peralatan menangkap ikan. Selain itu masyarakat dulu yang masih sangat kental dengan hal-hal magis mempercayai bahwa ketika melakukan adat maka sosoki tersebut akan menghasilkan ikan yang banyak. Dibutuhkan seseorang sebagai penanggung jawab (mengakui sosoki sebagai milikinya) ketika melakukan adat, sehingga tidak boleh terjadi kesalahan ketika melakukannya.
            Pembuatan sosoki sendiri dimulai dengan pengambilan daun mayang (daun aren) dan luleba (gaba-gaba yang masih muda) oleh masyarakat setempat. Masing-masing orang diharuskan mengambil 5 dahan daun mayang dan gaba-gaba muda sebanyak mungkin. Sosoki yang dibuat kurang lebih 1 Km, sehingga bahan yang dibutuhkan harus dikumpulkan sebanyak mungkin. Setelah bahan-bahan telah terkumpul, masyarakat banyak yang terdiri dari orang dewasa dan anak-anak beramai-ramai mengerjakannya disepanjang jalan desa, kemudian dilakukan pembagian tugas. Ada yang bertugas untuk mengupas kulit gaba-gaba muda (luleba) dan ada juga yang bertugas untuk membelah daun mayang menjadi dua bagian. Setelah itu kulit gaba-gaba yang telah dikupas diputar sampai halus membentuk seutas tali kecil yang kemudian akan digabungkan hingga didapati seikat tali yang berukuran besar dan kuat. Selanjutnya daun mayang yang telah dibagi dua dililitkan/diikat pada gaba-gaba muda yang telah menjadi tali yang besar sehingga tali tersebut tidak kelihatan rupanya karena telah ditutupi oleh daun mayang. Sebelum sosoki ditempatkan pada perairan dilakukan kegiatan adat oleh pemilik sosoki tersebut, menurut masyarakat setempat adat-adat yang dilakukan akan membuat ikan ketakutan ketika melihat gelapnya daun mayang. Setelah kegiatan adat dilakukan, masyarakat beramai-ramai membagi sosoki tersebut menjadi dua bagian, satu bagian di letakkan pada arumbai pertama dan bagian sosoki yang lain diletakkan pada arumbai kedua.
            Masing-masing arumbai memerlukan 20-30 orang (laki-laki dan perempuan) untuk proses mengangkat dan meletakan sosoki. Sebelum itu seorang tetua (juru selam) akan menyelam kedalam laut untuk melihat keberadaan ikan pada suatu daerah. Saat tetua telah menemukan tempat ikan berkerumun maka masnai yang berada pada arumbai tadi akan menarik arumbai yang berisi sosoki ke dekat nahano (tempat pecah ombak) yang langsung bersebelahan dengan laut yang sangat dalam. Penarikan arumbai ini dilakukan saat air sedang surut.
            Arumbai yang telah sampai di nahano akan berjalan memutari/mengurungi daerah yang dipenuhi ikan (didapat dari informasi dari tetua), kemudian menurunkan sosoki hingga kedalam tertentu dan mengikat kedua ujungnya menjadi satu. Setelah itu ada kira-kira 20 perahu yang berada pada masing-masing tepi sosoki yang bagian sau-nya (semang) di ikatkan daun mayang, perahu-perahu ini berfungsi sebagai pelampung agar sosoki tidak tenggelam sampai kedasar. Dalam hal ini ketika sosoki telah diturunkan masyarakat desa Abubu percaya bahwa ikan-ikan secara otomatis akan berenang mengikuti sosoki tersebut. Masnait yang berada didekat nahano (pada air setinggi dada) bersiap-siap untuk menarik sosoki keluar ketika ikan sudah cukup banyak terkurung, lalu kemudian masnait yang lain menyiapkan jaring besar untuk mengurung sosoki yang telah dipenuhi dengan ikan besar, sedang, maupun kecil.
            Kemudian ikan diangkat dan dimasukan pada timbil (keranjang besar yang terbuat dari rotan/bengkawang/bambu). Timbil ini mampu menampung ikan-kan besar yang tentunya sangat berat sehingga satu buah timbil diperlukan 4 orang untuk mengangkatnya. Timbil-timbil tersebut dikumpulkan disepanjang desa dan ikan-ikan tersebut dibagi secara merata kepada seluruh masyarakat desa. Dan seluruh masyarakat desa pasti mendapatkan bagian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar